Leni Indrawati, Giring Girik

 

  Sejak tahun 2022 telah marak pemberitaan dan opini ahli maupun masyarakat awam tentang apakah Girik masih layak sebagai bukti kepemilikan atas tanah. Awam umumnya berpendapat pertama bahwa  pengenaan pajak dan sejenisnya didasarkan atas kepemilikan Girik, nama yang ada di dalam Girik. Kedua, Awam juga berpendapat Girik secara adat adalah pengakuan sah kepemilikan tanah karena ada datanya di kantor desa dan atau kelurahan setempat, maka bagi kebanyakan awam Girik cukup sebagai alat jual beli kepemilikan tanah. Lagi pula membeli tanah berstatus Girik harganya relatif lebih murah daripada tanah dengan sertifikat formal.  Namun, awam lupa Girik umumnya meliputi luas tanah yang besar dan atau luas dan berpeluang belum dilakukan pecah girik; pendaftaran perubahan nama pemilik Girik. Sengketa paska jual beli tanah dengan girik meluas dan rumit berlangsung sejak lama.  Melihat fenomena tersebut Sejak  65 tahun yang lalu untuk melindungi dan menata kepemilikan tanah khalayak maka disusunlah Undang Undang  Agraria. Undang Undang tersebut mengatur dasar dasar hukum pertanahan di Indonesia; hak hak atas tanah, air dan ruang angkasa serta pendaftaran tanah. 


 Tahun 1960 lahirlah Undang No. 5 Tahun 1960 tentang  Pokok Pokok Agraria ,  (UUPA), Undang Undang ini secara garis besar bertujuan mengintegrasikan hukum adat dan perdata Belanda, menjamin kepastian hukum dan memastikan  pemanfaatan sumber daya agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sejalan dengan itu Girik bukanlah tanda bukti atas tanah, tetapi bukti bahwa pemilik girik menguasai tanah milik adat dan sebagai pembayar pajak atas bidang tanah tersebut beserta dengan bangunan yang ada di atasnya jika ada. UUPA juga diperkuat dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah ini kemudian semakin disempurnakan dengan lahirnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hingga, pada prinsipnya Girik tidak dapat dipersamakan dengan sertifikat hak atas tanah.    
 
    Selanjutnya pada tahun 2021 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang  HAK PENGELOLAAN, HAK ATAS TANAH, SATUAN RUMAH SUSUN, DAN PENDAFTARAN TANAH dan yang menarik perhatian khalayak adalah  Pasal 96, ayat (1), Alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. Juga ayat (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka alat bukti tertulis tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak AtasTanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.

Masalah

 

 

Masalahnya bisakah semua tanah girik memiliki dan berada dalam proses sertifikat hak kepemilikan dalam kurun waktu hingga Februari 2026 ?

      Girik sebagai kepemilikan dalam konteks tanah adat seringkali mengacu pada kepemilikan oleh penduduk asli, penduduk setempat dan bukan penduduk pendatang. Pada saat ini peluang tanah Girik berstatus tanah warisan dan belum dipecah girik berdasarkan hak waris juga besar. Hal itu mengingat tidak semua penduduk asli yang berhak atas tanah adat itu mempunyai kemampuan finansial dan kemampuan non finansial.  Mencermati keadaan ini sudah sejak lama Pemerintah menggiring khalayak pemilik tanah bisa mempunyai sertifikat agar mereka mempunyai kepastian hukum atas tanah yang mereka miliki dengan biaya terjangkau dan gratis. 
        Sebelumnya khalayak mengenal PRONA, Program Nasional Agraria. PRONA produk akhirnya berupa sertifikat pada kepemilikan tanah yang telah terdaftar.  Kemudian program tersebut lebih disempurnakan hingga sekarang ada Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) ditujukan pada masyarakat dengan penghasilan tidak tetap. Sedangkan pada masyarakat kurang mampu dapat mengajukan keringanan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Menurut kajian Hasrul Ahmad , dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, PTSL mempunyai produk berupa empat kluster yang ideal. Pertama, kluster 1, bidang tanah yang memenuhi syarat untuk diterbitkan sertifikat. Kedua, kluster 2 bidang tanah yang hanya dicatat dalam buku tanah karena dalam keadaan sengketa atau berperkara. Ketiga, adalah kluster 3. Bidang tanah yang hanya didaftarkan dalam daftar tanah karena subyek atau obyeknya tidak memenuhi syarat untuk diberikan hak. Dan, kluster 4. Bidang tanah yang sudah terdaftar dan bersertifikat hak atas tanah, baik yang belum dipetakan maupun yang sudah dipetakan namun tidak sesuai dengan kondisi lapangan atau terdapat perubahan data fisik wajib dilakukan pemetaannya ke dalam Peta PTSL. Berbagai upaya tersebut telah dan tengah  dilakukan menunjukan tekad kuat Pemerintah  berpihak pada keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum khalayak. Penyempurnaan PRONA dengan PTSL memungkinkan menjangkau tidak hanya di wilayah perkotaan juga sampai ke desa. Tetapi hambatan tetap saja ada, beberapa penelitian dan kajian menarik diangkat untuk melihat realitas yang ada lebih luas lagi.

KAJIAN

Penelitian Alnada Dewani dan Ana Silviana, misalnya menyebutkan dengan tegas  Faktor penghambat PTSL, kekurangan tenaga SDM, Fasilitas ruangan kurang luas, jaringan wifi/internet tidak stabil, mesin foto kopi jumlahnya terbatas dan perangkat desa yang kurang kooperatif, sehingga masyarakat  tidak mengetahui program PTSL. 

       Hampir serupa dengan itu penelitian Fitriani AS di Pekanbaru menyebut faktor penghambat dalam pelaksanaan PTSL adalah rendahnya tingkat kepedulian masyarakat, keterbatasan waktu pelaksanaan, dan masih bermasalah ya dokumen yuridis dan data fisik tanah milik khalayak sasaran. Sementara,Fatwa Alamsyah dari Sekolah Tinggi  Pertanahan Nasional dalam penelitiannya berjudul Peoblematika Tumpang Tindih Kepemilikan Tanah Pada Obyek PTSl di Bintan menemukan adanya tumpang tumpang tindih sertifikat sebelum pendataan dan sesudah pendataan. Terdapat dua atau lebih bukti kepemilikan tanah di mana obyek tanahnya sebagian atau seluruhnya sama tetapi subyeknya bisa sama ataupun berbeda. Menurutnya, keadaan ini menciptakan ketidakjelasan hukum dan bertentangan dengan tujuan utama untuk memberikan bukti yang jelas dan kepastian hukum atas hak kepemilikan tanah. 

 

 PENUTUP

 
Girik adalah produk jaman Belanda untuk pembuktian kepemilikan tanah berdasarkan adat. Tentu sudah saatnya ketika Indonesia sudah 8o tahun merdeka Girik harus ditinggalkan dan kalaupun tetap ada hanya sebagai salah satu syarat kelengkapan pendaftaran.  Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997 dan penjelasannya, diatur bahwa untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut, antara lain bukti-bukti tertulis salah satunya berupa girik. Dikutip dari website Kementrian  Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa girik atau bukti kepemilikan tanah lama tidak lagi berlaku setelah kawasan dinyatakan lengkap terdaftar.  Penegasan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, yang mengatur bahwa sertipikat tanah yang telah terbit lebih dari lima tahun tidak dapat dicabut atau diganti kecuali melalui perintah pengadilan. Gouverner c’est prevoi! Pepatah bilang tidak ada gading yang tak retak. Tidak ada sesuatu yang sempurna dan kesempurnaan akan dicapai melalui perjalanan panjang yang terus menerus tanpa kenal lelah. Program PTSL yang berlangsung pada Pemerintahan sebelumnya kelihatan berupaya memenuhi target yang ditetapkan dalam PP No. 18 Tahun 2021, agar pemetaan tanah khalayak di Indonesia dapat tercapai dengan maksimal. Pelibatan teknologi menjadi mutlak dibutuhkan guna mengatasi masalah yang timbul pada kesenjangan  dokumen juridis dan data fisik tanah. Penerapan SMART PTSL dan GEO KKP diyakini akan mampu berbagai kendala yang sifatnya teknis. Hanya mungkin perlu digarisbawahi dukungan SDM pada lokasi di mana Program PTSL dan atau kelak adanya program lanjutan penyempurnaan dari PTSL serupa akan dilaksanakan pada masa depan diharapkan SDM mempunyai kemauan melayani khalayak selaku dirinya adalah abdi masyarakat. Menjunjung tinggi prosedur yang memudahkan khalayak demi kepastian hukum yang merata. Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntu (Penulis, Praktisi Hukum dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara)